Indiana Pacers sedang menulis kisah dongeng NBA modern. Setelah satu musim penuh kerja keras, pertumbuhan, dan perjuangan, mereka kini berdiri di panggung terbesar bola basket dunia — Final NBA 2025 — bukan sebagai favorit, tetapi sebagai bukti bahwa determinasi dan kolektivitas bisa menembus batas apapun.
Jakarta, Hangoutproject.id - Jika Anda bertanya pada para pengamat, penggemar, bahkan pada para bandar taruhan di awal musim, hanya sedikit yang akan menyebut Indiana Pacers sebagai calon finalis NBA. Tapi disinilah mereka — mewakili Wilayah Timur, siap bertarung demi cincin juara.
Kisah ini, seperti banyak kisah besar lainnya, bukan soal awal yang sempurna. Bahkan sebaliknya. Musim lalu, Pacers disapu bersih oleh Boston Celtics dalam final Wilayah Timur. Saat itu, mereka dianggap terlalu muda, terlalu lemah dalam bertahan, dan belum siap berada di level tertinggi. Tapi kekalahan itu menjadi bahan bakar. Dan setahun kemudian, mereka kembali, bukan hanya lebih siap — tetapi jauh lebih berbahaya.
Dari Keruntuhan Menjadi Kekuatan
“Kami mencapai titik yang sama tahun lalu, gagal, dan kami bekerja keras untuk kembali ke sini,” ucap Tyrese Haliburton, jenderal lapangan sekaligus wajah masa depan tim ini. Ia bukan hanya pemain, tapi simbol transformasi Pacers dari tim ofensif yang longgar jadi skuad yang disiplin dan tangguh.
Dilansir dari nba.com pada musim reguler 2024-25, mereka memangkas lebih dari lima poin dari rata-rata kebobolan mereka dibanding musim sebelumnya. Ofensif Pacers sedikit menurun dari posisi ke-2 ke ke-9, tetapi pertahanan mereka melonjak dari peringkat 24 ke 14. Mereka tak hanya menang karena mencetak banyak poin. Mereka menang karena mulai bisa menghentikan lawan.
“Kami menjadi lebih besar, lebih kuat secara mental, dan semua orang membeli visi bahwa bertahan itu penting,” kata pelatih Rick Carlisle. Penambahan Pascal Siakam melalui perdagangan di Februari 2024 membawa dampak besar. Bersama Myles Turner, Aaron Nesmith, dan Andrew Nembhard, Indiana kini punya identitas bertahan yang nyata.
Kolektivitas, Kunci Segalanya
Pacers bukan tim satu bintang. Mereka bukan tim dengan satu pencetak 40 poin per malam. Mereka adalah tim yang mengeksekusi. Yang mengalirkan bola. Yang mempercayai sistem. Tujuh pemain mencetak rata-rata dua digit angka. Dan mereka menang entah ketika Haliburton membara, atau ketika Nesmith dan Nembhard tiba-tiba jadi pemecah kebuntuan.
“Kami berbeda dari semua tim lain,” ujar Haliburton dengan bangga. “Kami menang dengan banyak cara berbeda.”
Lihat saja Game 6 melawan Knicks: Nembhard, bukan Haliburton, yang jadi bintang. Ia menekan Jalen Brunson sepanjang malam, mencetak 14 poin, delapan assist, dan mencuri bola enam kali. Itu bukan kejutan bagi mereka yang tahu: setiap pemain di Pacers siap naik ke panggung kapan saja.
Carlisle menegaskan: “Permainan yang menentukan seri seringkali bukan tentang triple-double. Itu tentang usaha tanpa bola, tekanan, dan pengorbanan.”
Dari Posisi 10 ke Panggung Tertinggi
Ini bukan perjalanan mulus. Pada awal Desember, Indiana punya rekor 10-15, duduk di peringkat ke-10 dan tampak akan mengulang musim mengecewakan. Tapi mulai Januari, segalanya berubah. Mereka menutup musim dengan rekor 34-14 dan kini memiliki catatan gabungan 46-18 sejak Tahun Baru — hanya kalah dari Oklahoma City Thunder.
Dan ya, Thunder-lah lawan mereka di Final. Sebuah tim muda luar biasa dengan performa dominan sepanjang musim. Semua statistik, semua prediksi, semua “pakar” menjagokan OKC. Tapi Pacers sudah terbiasa berada di sisi yang diragukan.
Mereka menggulingkan unggulan #1 Cleveland dalam lima pertandingan, meredam serangan New York Knicks, dan sekarang siap melawan gelombang terakhir. Mereka bukan tim yang dimanja harapan besar — mereka tim yang tumbuh dalam ketidakpercayaan.
Kesempatan Terakhir, Momen Tak Terlupakan
Final NBA bukan sekedar pertandingan. Ini panggung untuk warisan. Dan bagi Pacers, ini adalah kesempatan sekali seumur hidup untuk mengukir cerita tak terlupakan.
Mereka adalah tim yang menyusun ulang narasi mereka sendiri. Dari tim yang kebobolan 130 poin semalam, menjadi tim yang mampu menekan di seluruh lapangan selama 48 menit. Dari kelompok pemain muda berbakat tanpa arah, menjadi kolektif yang terlatih, solid, dan siap menang.
Di dunia olahraga, tidak ada yang lebih menginspirasi dari pada underdog yang tidak hanya bermimpi, tapi juga membuatnya nyata. Pacers 2025 adalah cerita itu. Dan Final NBA ini, bukan akhir kisah mereka — ini adalah klimaksnya.
Seperti yang dikatakan Haliburton:
“Kami disini bukan untuk membuktikan siapa kami pada dunia. Kami sudah tahu itu. Kami hanya ingin menyelesaikan apa yang sudah kami mulai.”
Dan siapapun yang mencintai bola basket, tahu — tidak ada tempat yang lebih indah untuk menyelesaikan cerita selain di Final.
Jakarta, Hangoutproject.id - 5 Juni 2025 — Stadion Utama Gelora Bung Karno kembali menjadi saksi sejarah. Di hadapan puluhan ribu suporter yang memadati tribun, Timnas Indonesia sukses menumbangkan China dengan skor tipis namun krusial, 1-0, dalam lanjutan fase Grup C Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia.
Kemenangan ini tak hanya mempertebal harapan Garuda untuk melangkah ke putaran keempat kualifikasi, tetapi juga sekaligus memupus mimpi Tim Naga—julukan tim nasional China—untuk tampil di panggung sepak bola terbesar sejagat.
Gol Tunggal Berbalut Emosi
Dilansir dari sindonews.com, satu-satunya gol dalam laga yang berlangsung sengit ini tercipta lewat titik putih. Di menit ke-43, Ricky Kambuaya dijatuhkan di dalam kotak penalti, memaksa wasit meninjau ulang insiden lewat VAR. Setelah keputusan dibuat, Ole Romeny maju sebagai algojo. Tanpa ragu, penyerang naturalisasi itu mengarahkan bola ke pojok gawang dan membuat SUGBK meledak dalam euforia. Gol ini menjadi gol ketiganya bersama tim Merah Putih—dan mungkin yang paling emosional sejauh ini.
Pertarungan Penuh Gairah
Sejak awal laga, tensi pertandingan langsung tinggi. Indonesia tampil percaya diri dan agresif, menggempur pertahanan China yang dikenal kokoh. Serangan silih berganti terjadi, dengan enam tendangan tercatat dilepaskan skuad Garuda, satu diantaranya mengarah tepat ke gawang.
China bukan tanpa perlawanan. Mereka mengubah strategi di babak kedua dan nyaris menyamakan kedudukan dua menit selepas jeda. Namun, aksi sigap Emil Audero di bawah mistar menggagalkan peluang emas tersebut.
Laga pun terus berlangsung panas hingga menit akhir. Kedua tim saling jual beli serangan, namun pertahanan disiplin dan semangat juang tinggi para pemain Indonesia mampu menjaga keunggulan hingga peluit panjang dibunyikan.
Asa Garuda, Gugurnya Naga
Dengan kemenangan ini, Indonesia terus menjaga asa untuk lolos ke babak keempat kualifikasi. Performa solid yang ditunjukkan malam ini semakin menegaskan bahwa tim Merah Putih bukan sekedar penggembira di Grup C.
Sebaliknya, hasil ini menjadi pil pahit bagi China. Dengan satu laga tersisa dan hanya mengantongi enam poin, peluang mereka untuk tampil di Piala Dunia 2026 dipastikan sirna. Jalan menuju Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada resmi tertutup.
Catatan Penting
- Skor Akhir: Indonesia 1-0 China
- Pencetak Gol: Ole Romeney (43’ - penalti)
- Pemain Terbaik: Emil Audero (penyelamatan krusial di babak kedua)
- Kehadiran Penonton: ±70.000 orang di SUGBK
Kemenangan atas China ini akan dikenang sebagai salah satu momen paling penting dalam perjalanan panjang Timnas Indonesia. Dengan satu laga tersisa di fase grup, seluruh mata kini tertuju ke langkah selanjutnya skuad Garuda. Satu hal pasti: semangat Merah Putih tengah menyala, dan dukungan suporter akan terus menjadi bahan bakar menuju mimpi besar bernama Piala Dunia.
Friday, 06 Jun 2025
Jakarta, Hangoutproject.id - DARTSLIVE kembali hadir dengan gebrakan kompetisi bergengsi “SUPER LEAGUE SEASON 1”, sebuah liga darts berskala besar yang mempertemukan 23 tim dari berbagai penjuru Jakarta dan sekitarnya. Dengan format liga kandang-tandang (home and away), atmosfer kompetitif pun terasa semakin kental.
Format Liga: Taktil, Strategi, dan Sinergi
Dalam setiap pertandingan liga ini, masing-masing tim akan saling adu strategi melalui 7 pertandingan — terdiri dari 3 single dan 4 double. Format ini menuntut kekompakan tim, penempatan pemain yang cermat, serta mental juara dalam setiap pertandingan.
Week 2: Duel Seru di Afterhour PIK
Pekan kedua SUPER LEAGUE SEASON 1 berlangsung pada hari Selasa malam pukul 19.30 WIB, serempak di 5 lokasi (shop) salah satunya Afterhour Billiard, PIK. Salah satu laga yang mencuri perhatian adalah pertemuan antara Tim Mr. P melawan Sparta Kratos.
Line-up Tim Mr. P:
- Benny Tandean
- Lourdy Yoso
- Angelika Friskylia
Line-up Sparta Kratos:
- Sunny Kings Handoko
- Jojo Julianne
- Edo Tanuwijaya
- Benedictus Alexander Leo
Sejak pertandingan dimulai, Tim Mr. P tampil dengan percaya diri tinggi. Dengan kombinasi ketenangan Benny, keakuratan Lourdy, dan daya juang Angel, mereka mampu mengendalikan tempo permainan sejak awal hingga akhir. Meski Sparta Kratos sempat mencuri satu kemenangan di salah satu partai double, Tim Mr. P tetap terlalu tangguh. Hasil akhir: 6 - 1 untuk kemenangan telak Tim Mr. P.
Liga Bergengsi yang Menyatukan Komunitas Darts
SUPER LEAGUE SEASON 1 bukan hanya soal kompetisi, tetapi juga tentang membangun komunitas. Liga ini mempertemukan 23 tim yang masing-masing diperkuat oleh 3 hingga 4 pemain, bertarung dalam sistem home and away yang berlangsung selama kurang lebih 3 bulan. Dengan dukungan penuh dari sponsor utama Mr. P, turnamen ini menjadi ajang pembuktian sekaligus persaudaraan antar pemain darts tanah air.
Pertandingan dilangsungkan secara serentak di 5 lokasi utama (shop):
- Darts Hub, Sedayu City
- Firewok Eating House, Sunter
- Afterhour Billiard, PIK
- Buddy Pool, Kebon Jeruk
- Cartel Billiard, Gading Serpong
Dengan lokasi yang tersebar strategis, liga ini mampu menjangkau lebih banyak pecinta darts dan menciptakan atmosfer persaingan yang merata dan menyeluruh.
Puncak Liga: Grand Final 9 Agustus 2025
Segala perjuangan, strategi, dan drama di sepanjang liga ini akan bermuara pada satu titik: Grand Final SUPER LEAGUE SEASON 1, yang akan digelar pada 9 Agustus 2025. Pertandingan penentu ini diyakini akan menyuguhkan duel sarat emosi, karena hanya satu tim yang berhak mengangkat trofi juara perdana liga ini.
SUPER LEAGUE SEASON 1 telah membuka lembaran baru dalam kompetisi darts di Indonesia pekan demi pekan, cerita demi cerita, dan rivalitas antar tim menjadi warna dalam perjalanan menuju kejayaan. Pekan kedua menjadi bukti bahwa determinasi dan kekompakan bisa menjadi kunci kemenangan mutlak, seperti yang ditunjukkan oleh Tim Mr. P.
Darts bukan sekedar permainan lempar anak panah. Di balik garis oche, ada cerita, ambisi, dan semangat sportivitas. Dan di SUPER LEAGUE SEASON 1, semuanya berpadu dalam harmoni yang memikat.
GAME ON! SPIRIT ON!
Wednesday, 04 Jun 2025
Jakarta, Hangoutproject.id - Dalam dunia darts yang penuh gemerlap, tidak semua juara mendapat sorotan yang layak. Nama-nama besar seperti Phil Taylor, Michael Van Gerwen, hingga sensasi muda Luke Littler tentu akrab di telinga penggemar. Namun bagaimana dengan mereka yang berjaya, namun seakan dilupakan sejarah?
Dilansir dari dartsnews.com mantan pemain profesional dan pemenang Final Kejuaraan Pemain, Paul Nicholson, mencoba menjawab pertanyaan itu. Dalam kolom terbarunya untuk Sporting Life, pria berjuluk “The Asset” mengungkap tiga nama juara dunia yang menurutnya paling diremehkan sepanjang masa.
Rob Cross: Juara Dunia yang Tak Pernah Benar-Benar Dirayakan
Rob Cross menembus dunia darts profesional dengan ledakan dahsyat. Hanya dua tahun setelah tampil di Challenge Tour, Cross mengalahkan Phil Taylor di final Kejuaraan Dunia 2018 dan menyabet gelar tertinggi.
Namun, menurut Nicholson, kemenangan itu tidak disambut gegap gempita seperti yang didapatkan Littler atau Fallon Sherrock di masa kini. “Orang-orang masih belum mengerti betapa hebatnya Rob Cross,” tegasnya. “Sejak 2018, dia sudah main di 12 final utama dan memenangkan empat gelar, termasuk World Matchplay dan dua European Championship. Tapi gaungnya di luar arena? Hampir tidak ada.”
Cross bukan tipikal bintang glamor. Ia bukan spesialis 180 yang memukau, tapi keandalan finishing dan kecintaannya pada treble 18 membuatnya menjadi salah satu eksekutor paling klinis dalam olahraga ini. Ia hanya belum mencapai satu final besar—World Grand Prix. selain itu, resume-nya nyaris lengkap. Tapi, entah kenapa, sorotan publik belum berpihak padanya.
John Part – Sang Visioner dari Kanada
Menyebut nama John Part mungkin akan membuat para penggemar darts senior mengangguk setuju. Tapi apakah namanya benar-benar disebut sejajar dengan Phil Taylor, Eric Bristow, atau John Lowe? Tidak juga, dan itu yang membuat Nicholson geleng-geleng kepala.
“Seorang Kanada menang di Kejuaraan Dunia pada 1994? Itu seperti kisah dongen,” kenangnya. Tapi Part bukan one-hit wonder. Ia juara dunia tiga kali – di tiga arena berbeda: Lakeside, Circus Tavern, dan Alexandra Palace. Dan jangan lupa, ia pernah mengalahkan Phil Taylor dalam salah satu final paling legendaris sepanjang masa.
Nicholson menegaskan, meski Part tidak dikenal dengan average tertinggi, “gelar tidak diberikan kepada pemain dengan angka 110 tapi gagal menang. Gelar diberikan kepada mereka yang tahu kapan harus membunuh permainan.” Dari kemenangan di Las Vegas hingga performa tangguh di UK Open 2018, John Part membuktikan ketangguhannya di berbagai era. Jarak antara gelar dunia pertamanya (1994) dan ketiganya (2008)? 14 tahun – sesuatu yang belum tentu bisa diulang, bahkan oleh bintang seperti Luke Littler di masa depan.
Scott Waites – Tukang Kayu yang Menolak Jadi Selebriti
Nama terakhir mungkin tidak sering muncul di arus utama, tapi Scott Waites adalah legenda di kalangan penggemar setia. Dua gelar dunia BDO, satu World Masters, Zuiderduin Masters, hingga kemenangan di Grand Slam 2010 – repertoarnya lengkap.
Yang paling diingat Nicholson adalah momen saat Waites membalikkan ketertinggalan 0-8 menjadi menang 16-12 atas James Wade. Dengan rata-rata di atas 100, ia menunjukkan bahwa darts terbaiknya muncul saat menghadapi lawan terbaik.
Namun, gaya hidup Waites jauh dari panggung gemerlap. “Scott menyukai hidupnya sebagai tukang kayu,” ujar Nicholson. “Ia suka bekerja, suka melempar darts tanpa sirkus dan kamera.” Ketika akhirnya ia pindah ke PDC pada 2020, masa emasnya sudah lewat. Tapi warisannya tetap utuh: juara dunia dua kali dan pemenang berbagai gelar besar, meski tidak pernah jadi headline.
Diremehkan, Tapi Tak Terlupakan
Ketiga nama ini — Rob Cross, John Part, dan Scott Waites – mungkin tidak selalu terpajang di dinding museum darts atau dibanjiri liputan media. Tapi prestasi mereka berbicara. Mereka adalah juara sejati yang membuktikan bahwa tak semua pemenang butuh sorotan terang untuk bersinar.
Setuju dengan pilihan Paul Nicholson? Atau Anda punya jagoan lain yang juga layak disebut sebagai juara paling diremehkan? Sampaikan pendapat Anda – karena dalam dunia darts, kadang yang paling tenang adalah yang paling mematikan.
Tuesday, 03 Jun 2025